Senin, 20 Juli 2015

Sosok Semar yang Melegenda di Nusantara

Cirebonmedia.com- Indonesia merupakan Negara dengan kekayaan budaya yang sangat kental dan beragam, jauh sebelum masuknya kebudayaan Hindu, Budha dan Isalam di tanah Jawa, kebudayaan Jawa telah melahirkan religi dalam wujud kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa. Seperti wayang sebagai salah satu kebudayaan yang menggambarkan kehidupan masyarakat lengkap dengan tokoh antagonis dan protagonis sebagai simbol perwujudan sifat-sifat manusia di dunia.
Wayang merupakan seni budaya asli bangsa Indonesia khususnya di pulau jawa yang paling menonjol di antara banyak karya budaya lainnya. Budaya wayang meliputi seni peran, seni suara, seni musik, seni tutur, seni sastra, seni lukis, seni pahat, dan juga seni perlambang. Budaya wayang, yang terus berkembang dari zaman ke zaman, juga merupakan media penerangan, dakwah, pendidikan, hiburan, pemahaman filsafat, serta hiburan.

Sebagai salah satu ciri khas kebudayaan di tanah jawa, wayang  memiliki salah satu tokoh legenda yaitu ”Semar”  yang dalam lakonnya memiliki sifat-sifat baik yang dapat dicontoh oleh manusia untuk menjalani hidup dengan selalu taat kepada sang pencipta serta selalu berada di jalan yang lurus. Hal tersebut masih terjaga sampai sekarang. Semar dalam bahasa Jawa disebut “Badranaya” Bebadra = Membangun sarana dari dasar, Naya = Nayaka = Utusan mangrasul. Artinya : Mengembani sifat membangun dan melaksanakan perintah Allah demi kesejahteraan manusia.
Semar memiliki beberapa ciri yaitu, Semar berkuncung seperti kanak-kanak,namun juga berwajah sangat tua, semar tertawannya selalu diakhiri nada tangisan, semar berwajah mata menangis namun mulutnya tertawa, semar berprofil berdiri sekaligus jongkok dan semar tak pernah menyuruh namun memberikan konsekuensi atas nasehatnya.
Menurut sejarawan Prof. Dr. Slamet Muljana, tokoh Semar pertama kali ditemukan dalam karya sastra zaman Kerajaan Majapahit berjudul Sudamala. Selain dalam bentuk kakawin, kisah Sudamala juga dipahat sebagai relief dalam Candi Sukuh yang berangka tahun 1439. Adapun dalam naskah Serat Kanda dikisahkan, penguasa kayangan bernama Sanghyang Nurrasa memiliki dua orang putra bernama Sanghyang Tunggal dan Sanghyang Wenang. Karena Sanghyang Tunggal berwajah jelek, maka takhta kahyangan pun diwariskan kepada Sanghyang Wenang. Dari Sanghyang Wenang kemudian diwariskan kepada putranya yang bernama Batara Guru. Sanghyang Tunggal kemudian menjadi pengasuh para kesatria keturunan Batara Guru, dengan nama Semar.
Bisa dikatakan Seolah-olah semar merupakan simbol penggambaran jagad raya. Bentuk fisik serta sifat dasar semar seakan sebuah penggambaran dunia yang ditanamkan pada seorang tokoh pewayangan yang bertujuan membangun sifat baik pada diri manusia melalui pagelaran budaya wayang yang dipentaskan.

Image By: Google.com
Sumber : Cirebon Media

Kamis, 09 Juli 2015

Kesenian Daerah yang Kian Tergerus Perkembangan Zaman

Cirebonmedia.com– Perubahan dan kemajuan zaman sejatinya membawa manusia menuju kehidupan yang lebih baik. Namun bila perubahan itu sendiri tidak disikapi secara bijak, justru hal tersebut akan mendatangkan dampak negatif. Perubahan tentunya menimbulkan konsekuensi tertentu seperti pergeseran nilai dan sebagainya. Disinilah diperlukannya kedewasaan diri dalam menerima perubahan yang ditawarkan oleh kemajuan zaman ini untuk tetap dapat melestarikan nilai-nilai luhur sebagai identitas bangsa.
Salah satu parameter perubahan dapat kita lihat dari perilaku generasi saat ini yang lebih menggemari budaya asing seperti pergi ke clubbing dan menikmati musik dari DJ dari pada menikmati kesenian daerah yang digelar di gedung-gedung kesenian daerah. Kebanyakan menganggap kesenian daerah sudah kuno dibandingkan kesenian asing yang masuk melalui arus globalisasi.
Menurut dosen tari di Institut Kesenian Jakarta (IKJ) Julianti Parani, tari tradisional merupakan salah satu produk budaya sebagai warisan tak benda yang merupakan bentuk perangkat lunak masyarakat masa lampau yang paling rawan menjadi korban karena termakan zaman.
Ini sungguh memperihatinkan, ketika produk kesenian daerah yang kian tergerus perkembangan zaman terutama oleh budaya asing yang masuk. Kesenian daerah adalah wajah dari bangsa ini, lalu jika masyarakat sudah tidak memiliki rasa cinta terhadap kesenian daerahnya, wajah apa yang akan terlihat dari bangsa ini?
Dukungan dari pemerintah pusat maupun daerah harus menjadi prioritas dalam menjaga kelestarian budaya lokal, jangan sampai kedepan kearifan lokal hilang akibat dipandang sebelah mata. Pembinaan harus dilakukan kepada generasi muda agar lebih mengenal dan mencintai kebudayaan daerah.

Di Cirebon sendiri kejadian tersebut dialami para pelaku kesenian dan kebudayaan Cirebon seperti yang dilansir oleh Cirebonpos.com, Elang Panjimengatakan “berbicara tentang kebudayaan dan kesenian sekarang ini, menurutnya semakin surut jumlah pelaku seni baik dalam bentuk perorangan maupun sanggar seni yang aktif. Akan tetapi, perkmbangan kesenian dari periode 1995 sampai dengan sekarang semakin baik. Karena kesenian sudah merambah ke sekolah-sekolah yang ada di Kabupaten Cirebon, meskipun masih terjadi pasang surut dalam prakteknya.
Pemerintah harus segera mengambil langkah untuk menyelamatkan kesenian tradisional, pagelaran yang menampilkan kesenian daerah harus rutin dilakukan jika tak ingin warisan ini hilang termakan oleh zaman.
Image By: google.com

Sumber : Cirebon Media